Rabu, 12 Maret 2014

Penanganan Cyber Crime


Meski Indonesia menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan dari para korban.

Ada beberapa sebab mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan :

1. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
2. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar.Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
3. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
4. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam system komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
5. Upaya penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum tersebut.

Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanganan cybercrime adalah   :
1.      Melakukan  modernisasi  hukum  pidana  nasional  beserta  hukum acaranya, yang diselaraskan dengan      konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2.      Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional.
3.   Meningkatkan  pemahaman  serta  keahlian  aparatur  penegak  hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime.
4.      Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi.
5.      Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral,  dalam  upaya  penanganan cybercrime,  antara  lain  melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.

Contoh bentuk penanggulangan antara lain :

√ IDCERT (Indonesia Computer Emergency Response Team) : Salah satu cara untuk mempermudah penanganan masalah keamanan adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan kasus keamanan. Masalah keamanan ini di luar negeri mulai dikenali dengan munculnya “sendmail worm” (sekitar tahun 1988) yang menghentikan sistem email Internet kala itu. Kemudian dibentuk sebuah Computer Emergency Response Team (CERT) Semenjak itu di negara lain mulai juga dibentuk CERT untuk menjadi point of contact bagi orang untuk melaporkan masalah kemanan. IDCERT merupakan CERT Indonesia.

√ Sertifikasi perangkat security : Perangkat yang digunakan untuk menanggulangi keamanan semestinya memiliki peringkat kualitas. Perangkat yang digunakan untuk keperluan pribadi tentunya berbeda dengan perangkat yang digunakan untuk keperluan militer. Namun sampai saat ini belum ada institusi yang menangani masalah evaluasi perangkat keamanan di Indonesia. Di Korea hal ini ditangani oleh Korea Information Security Agency.

Sumber :
http://techkomp09.blogspot.com/p/penanganan-cyber-crime.html
https://helkuchiki.wordpress.com/cybercrime/penanganan-cybercrime-di-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar