Meski Indonesia
menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan tetapi
jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal ini angka
dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga bukan data yang
berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut berupa laporan
dari para korban.
Ada beberapa sebab
mengapa penanganan kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan :
1. Ketersediaan dana
atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum
kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun
luar negeri.
2. Ketiadaan
Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya
besar.Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa
harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh
hacking tersebut.
3. Citra lembaga
peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya
citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
4. Kesadaran hukum
untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga
peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin
kelemahan dalam system komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan
mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
5. Upaya penanganan
cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat teknologi informasi
khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk membangun masyarakat
yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang yang mengatur cybercrime
memang diperlukan, akan tetapi apalah arti undang-undang jika pelaksana dari
undang-undang tidak memiliki kemampuan atau keahlian dalam bidang itu dan
masyarakat yang menjadi sasaran dari undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya
tujuan pembentukan hukum tersebut.
Beberapa langkah penting
yang harus dilakukan setiap negara dalam penanganan cybercrime adalah :
1.
Melakukan modernisasi
hukum pidana nasional
beserta hukum acaranya, yang
diselaraskan dengan konvensi
internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut.
2.
Meningkatkan sistem pengamanan jaringan
komputer nasional sesuai standar internasional.
3. Meningkatkan pemahaman
serta keahlian aparatur
penegak hukum mengenai upaya
pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan
cybercrime.
4.
Meningkatkan kesadaran warga negara
mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut
terjadi.
5.
Meningkatkan kerjasama antar negara,
baik bilateral, regional maupun multilateral,
dalam upaya penanganan cybercrime, antara
lain melalui perjanjian
ekstradisi dan mutual assistance treaties.
Contoh bentuk
penanggulangan antara lain :
√ IDCERT (Indonesia Computer
Emergency Response Team) : Salah satu cara untuk mempermudah penanganan masalah
keamanan adalah dengan membuat sebuah unit untuk melaporkan kasus keamanan.
Masalah keamanan ini di luar negeri mulai dikenali dengan munculnya “sendmail
worm” (sekitar tahun 1988) yang menghentikan sistem email Internet kala itu.
Kemudian dibentuk sebuah Computer Emergency Response Team (CERT) Semenjak itu di
negara lain mulai juga dibentuk CERT untuk menjadi point of contact bagi orang
untuk melaporkan masalah kemanan. IDCERT merupakan CERT Indonesia.
√ Sertifikasi perangkat
security : Perangkat yang digunakan untuk menanggulangi keamanan semestinya
memiliki peringkat kualitas. Perangkat yang digunakan untuk keperluan pribadi
tentunya berbeda dengan perangkat yang digunakan untuk keperluan militer. Namun
sampai saat ini belum ada institusi yang menangani masalah evaluasi perangkat
keamanan di Indonesia. Di Korea hal ini ditangani oleh Korea Information
Security Agency.
Sumber :
http://techkomp09.blogspot.com/p/penanganan-cyber-crime.html
https://helkuchiki.wordpress.com/cybercrime/penanganan-cybercrime-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar